Friends Forever

:)

Foto ini dibuat sebelum kami riweuh dengan tesis πŸ™‚

Revisi tesis udah selesai, tinggal hutang jurnal yang belum lunas. Dan pagi ini saat buka laptop langsung kepikiran lagu Friends Forever (Graduation)-nya Vitamin C. Dan olalaaa langsung mellow seketika hati saya…

Teman, saya masih ingat satu hari di Agustus 2013 itu. Kita berdua puluh mungkin ada yang sudah saling kenal, namun masih terasa kikuk pertemuan kita itu. Kepala kita sama-sama berasap mencerna materi kuliah statistik yang sudah bertahun-tahun tidak kita sentuh. Belajar bersama, diskusi bersama, mencontek tugas bersama, dan insyaAllah sebentar lagi kita akan wisuda bersama. Aamiin. Semangat yang belum sidang, semoga dimudahkan Allah πŸ™‚

Kampus kita penuh dengan kejutan dan miskomunikasi. Mungkin saat mengalaminya kita kesal setengah mati, tapi saat semua itu sudah berlalu, kita hanya bisa tertawa-tawa geli mengingatnya.

Teman satu kosan: Riny, Mbak Tika, Kak Liza. Bakal kangen masa2 makan pagi, siang dan sore bareng. Kak Liza yang makannya sedikit dan saya akan dengan senang hati membantu menghabiskan makanannya. Hehe. Bakal kangen masa2 ngumpul di kamar kak Liza untuk diskusi tugas kuliah, diskusi tentang suami dan anak, baju, ah pokoknya segala yang terlintas di pikiran kami saat itu. Oia kadang Esti, anak reguler wong jogja yang tinggal di Palembang dan kerja di Babel juga sering ikut dalam diskusi kami itu. Salut ih sama Esti, semangatnya keren. Bayangin dia S1nya jurusan ekonomi pertanian trus disuruh S2 statistik. Kami aja ngebul apalagi dia. Hehe

Kurang lebih 3 minggu lagi euy. Tiga minggu yang akan terasa singkat sekali bagi saya namun terasa bagai tiga abad bagi suami saya. Hahaha.

Sahabat. Terasa sekali maknanya bagi saya. Bukan sahabat namanya jika hanya datang saat ia butuh. Sahabatlah yang menghampiri kita tanpa kita minta. Saat bapak mertua meninggal beberapa hari sebelum seminar tesis, terasa sekali perhatian teman2 saya. Ada yang membantu mencarikan dan bayarin dulu tiket pesawat untuk suami saya, ada yang bantu mencarikan tiket kereta api untuk saya. Bahkan dukungan moral berupa ucapan bela sungkawa pun terasa sangat berharga saat itu.

Begitu juga saat akan sidang. Seneng gitu rasanya pas ada teman jauh yang ikut menyemangati dan mendoakan. Selesai sidang juga. Senang sekali saat beberapa teman nun jauh di sana mengucapkan selamat karena lulus sidang. Ah, kalianlah sahabat yang sebenarnya πŸ™‚

Keep in touch yah temans. Semoga sukses di dunia dan akhirat. I’ll be missing you! πŸ™‚

Sidang Tesis Sudah Berlalu

Slide sidang saya yang mendapat pujian dari penguji dan pembimbing. Ahai, sedap :)

Slide sidang saya yang mendapat pujian dari penguji dan pembimbing. Ahai, sedap πŸ™‚

Alhamdulillah. Alhamdulillah. Alhamdulillah.

Tesis. Hal itu yang membuat blog saya ini terbengkalai beberapa bulan terakhir. Selesai sidang rasanya legaaaaa sekali :). Mau cerita ah tentang perjalanan tesis saya.

Bagaimana awal mula menemukan topik penelitian? Woohoo ini yang paling bikin galau. Cari topik tesis udah kayak cari jodoh deh. Ngubek2 tesis pendahulu di perpustakaan, wuih ngeri judulnya. Statistik banget. Kami diwajibkan menggunakan pengembangan metode statistik. Metode terbaru ini biasanya ada di jurnal terbaru atau di disertasi para ahli statistik. Dengan modal bahasa inggris yang pas2an, saya berusaha memahami bahasa jurnal yang ilmiah dan isinya rumus semua ituh.

Saya banyak browsing di JOS (Journal of Official Statistics). Sempet baca macam2 topik dan tertarik sama non respon tapi berhubung sepertinya banyak teman saya yang ambil topik itu, ya ga jadi deh. Lalu tertarik dengan ulasan dosen saya tentang analisis multilevel yang bisa dimix dengan analisis lain. Dan nemu jurnal tentang multilevel survival. Aaaah langsung berasa klik soalnya skripsi saya dulu memakai analisis survival. Ini pengembangannya, setidaknya saya tidak perlu belajar dari nol. Oia ini tips pertama. Kalau ga mau terlalu repot, gunakan pengembangan dari metode yang dipakai di skripsi dulu. Nah mulailah menyusun proposal penelitian.

Pertama kali bertemu pembimbing, alamak ternyata data saya gak cocok pakai analisis multilevel ini. Cocoknya pakai analisis yang mempertimbangkan desain sampel kompleks. Wah padahal saya agak alergi sama mata kuliah sampling tapi mau ga mau harus kecebur di dunia desain sampling. Hihihi. Alhamdulillah dapat pembimbing yang baiiiiiik banget dan banyak membantu. Akhirnya dapat juga jurnal utama sebagai referensi tesis saya. Berminggu-minggu saya mencoba memahami maksud jurnal ini. Saya juga konsultasi ke bagian metodologi di pusat dan mendapat banyak sekali pencerahan.

Menulis penelitian, entah tugas akhir, skripsi, atau tesis sangat membutuhkan pengorbanan dan usaha yang luar biasa. Tesis ini bikin berat saya turun 5 kilo, rambut saya rontok dan kulit saya gatal2. Hehe bener lho. Berulang kali saya merasa putus asa dan kehilangan harapan. Pembimbing 1 saya suka ngetes. Tiap bimbingan beliau selalu nanya2 dan beliau aware banget sama hal kecil dan fatal. Misalnya, saya kan mau pakai data Susenas. Nah yang saya olah hanya rumah tangga yang di dalamnya terdapat balita diberi ASI. Rumah tangga lain rencananya saya buang saja. Trus si Bapak bilang gak boleh gitu, enak banget kalau saya main buang data seperti itu. Trus si Bapak nyoret2 di kertas mungkin saja ada atau tidaknya balita diberi ASI dalam suatu rumah tangga mengikuti distribusi binomial dan saya disuruh mengaplikasikan dalam rumus penaksiran parameter model yang saya pakai!! Oh Bapak, hal ini membuat saya nangis dan berasa hopeless karena seminggu penuh dari pagi sampai malam saya googling tapi saya belum menemukan yang bapak maksud. Suami yang jadi imbas pelampiasan saya :D. Dari tesis ini saya belajar bahwa kalau kita benar-benar berusaha, insyaAllah kita akan mendapat hasil. Alhamdulillah saya nyasar ke suatu ebook yang membahas aplikasi analisis pada data hasil survei dan ternyata yang saya butuhkan adalah analisis subpopulasi. Oalah berasa nemu harta karun dan puasss banget pas saya bawa hasil itu ke si Bapak dan Bapaknya manggut2 bilang, “Ooh ada ya analisis seperti itu? Canggih euy.” Khas Pak Septi banget. Hihihi. Ga cuma sampai di situ sih, saya juga sempat pusing cari referensi tentang penentuan initial value pada newton raphson yang dipakai dalam model saya. Alhamdulillah nemu juga di ebook jadul yang tampilannya sudah usang. Kalau pembimbing 2, Pak Bertho, sabaaaaar bangettt alhamdulillah πŸ™‚

Seminar alhamdulillah saya lalui dengan lancar, dapet nilai A :). Pertanyaannya sesuai ekspektasi. Yang ga sesuai ekspektasi tuh Pak Septi sebagai pembimbing tapi ikutan nguji sayaaaa. Yang ditanya tentang penentuan initial value itu. Memang saya belum sempat setor hasil temuan saya. Ternyata si Bapak inget dan ditanyakan pas seminar. Wow banget lah. Suka kali si Bapak ngetes.

Sebelum nulis bab 4, saya harus ngolah data dulu. SPSS mah ga kepake, walaupun ada menunya. Disuruh pakai R euy yang isinya syntax semua. Nah lagi2 saya belajar, kalau kita benar2 berusaha insyaAllah kita akan menuai hasil. Dapatlah saya package R yang bisa mengakomodir metode yang saya pakai. Saya pakai gabungan antara beberapa package. Pake R itu tricky. Step by step harus bener, kalau enggak pasti keluar error. Trial dan error lah. Begitu keluar outputnya tuh masya Allah, berasa bahagiaaaa sekali.

Bab 4 dan 5 selesai sekitar dua minggu sebelum deadline pengumpulan draft tesis. Sama Pembimbing 2 udah oke. Dengan percaya diri saya datang ke Pembimbing 1. Melihat perbandingan dua metode yang hasilnya terlihat tidak beda jauh, si Bapak bilang, “Kalau begini ngapain Anda capek2 bikin model dengan pembobot kalau hasilnya sama. Percuma aja atuh, tidak ada yang spesial dari hasil yang Anda peroleh.” Bapak ini logat bicaranya Sunda yang sangat halus, tapi aaaaaargh tetep aja ucapannya membuat saya berasa terjun bebas dari gedung yang sangat tinggi. Pokoknya saya harus membuktikan bahwa apa yang sudah saya kerjakan tidak percuma! Bagaimana caranya? Nah itu yang bikin pusing. Cari sana-sini sampai kebawa mimpi. Akhirnya trial dan error berulang kali coba ngolah data per triwulan. Lagi-lagi, siapa yang bersungguh2 maka ia akan menuai hasil. Berhasil akhirnya membuktikan bahwa apa yang saya kerjakan tidak percuma. Begitu saya bawa hasilnya ke si Bapak, beliau komentar, “Wah, bagus, kok bisa kepikiran bikin yang seperti ini? Mantap ini hasilnya.” Sambil beliau mengacungkan jempol ke saya. Alhamdulillah cobaan dari Pembimbing 1 sudah dilalui :).

Pas sidang, alhamdulillah saya tuh berasa tenaaang banget. Tenang dan pasrah itu beda tipis yah :p. Walaupun pertanyaan penguji di luar ekspektasi saya banget. Yang bikin saya seneng, penguji dan pembimbing memuji slide yang saya bikin. Slide saya itu minimalis, penuh warna dan gambar. Tanpa rumus. Saya mencoba memvisualisasikan penelitian saya ke dalam tampilan slide yang menarik dan gak kaku. Ah ga percuma saya bisa menerapkan ilmu yang saya dapat dari training Slide Revolution. Bikin slide itu berasa me-time banget buat saya. Menyenangkan sekali. Oia yang pengen belajar bikin slide yang keren bisa tuh belajar sama mas Panji Priambudi. Search aja fbnya πŸ™‚

Berikut rangkuman tips dari saya, mungkin lebih pas untuk yang jurusannya statistik juga yah:

  1. Ingatlah bahwa siapa yang berusaha dan bersungguh-sungguh, maka ia akan menuai hasil. Berusaha, berdoa dan minta dukungan dari keluarga, itu penting banget buat menguatkan diri kita. Harus tahan banting banget. Tesis ini adalah salah satu pertarungan hidup *lebay*
  2. Topik tesis. Kalau mau agak mudah, cari pengembangan dari metode yang dipakai di skripsi dulu. Kalau ga mau ya cari topik baru. Penting banget adanya chemistry antara kita dan si topik. Berbulan-bulan lamanya bakal bergulat dengan si topik πŸ˜€
  3. Cari metode yang tidak merepotkan saat mengolahnya! Ini penting banget. Kecuali kamu adalah seorang yang jenius dan bisa menterjemahkan barisan rumus ke dalam syntax.
  4. Baik-baik ke pembimbing. Nurut sama saran dan masukan yang diberikan oleh pembimbing walaupun saran itu membuat kamu harus nangis darah dan berasa hopeless.

Sekian. Sukses ya buat kamu!

Random Malam

Sebulan lebih ga buka blog, ternyata banyak komen yang masuk. Wiiih berasa mulai populer deh saya *plakk*. Maaf banget ya yg komennya baru sempat saya balas. Abis libur lebaran dan pindah kosan. Di kosan yang dulu saya langganan internet unlimited pake kabel, di kosan sekarang pake modem dengan sinyal seadanya. Bagus sih buat perkembangan kuliah saya, jadi lebih fokus. Kalo dulu mah buka laptop dikit, niatnya belajar eh ujung2nya nonton youtube. Haha

Beberapa minggu terakhir saya riweuh sama tesis. Sekarang pun masih riweuh tapi saya lagi pengen aja buka blog bentar, nulis apa adanya.

Apa kabar kuliahΒ  saya?

Alhamdulillah baik. Saya lagi sibuk ngejar target proposal tesis saya (bab 1-3) dan insyaAllah bulan depan akan seminar proposal. Sekarang baru nyampe bab 2. Semester baru dimulai akhir bulan ini dan saya masih harus ambil 2 mata kuliah lagi. Mohon doanya ya tuk kelancaran pendidikan saya…

Program hamilnya gimana?

Kebetulan saya lagi dikasih libur berobat selama 3 bulan. Yang libur cuma kontrol bulanannya aja, obat2an mah tetep dikonsumsi. Etapi agak susah ngepasin jadwal masa subur tuk ketemuan sama suami. Seringnya suami baru bisa dateng saat saya haid atau baru selesai haid. Tapi saya sih ga terlalu ambil pusing, alhamdulillah masih bisa ketemuan. Soal hamil mah ga terlalu ngejar, yang penting ikhtiar sebisanya πŸ™‚

Trus apa lagi?

Ada beberapa hal yang bikin saya semangat, saya mau ikutan training Slide Revolution dan Public Speaking loh… Pengen mendobrak kebiasaan lama, pengen bisa tampil bagus dan ga monoton saat presentasi. Mumpung di Bandung ini saya menggadis, sebisa mungkin dimanfaatkan untuk hal yang berguna πŸ™‚

 

Oke deh, udahan dulu tuk malam ini. Saya mau baca bahan referensi tuk tesis saya dulu ya…

Cobaan di Awal Ramadhan

Suatu pagi di Jakarta, tiga hari menjelang Ramadhan, saya bermimpi Alfath masuk rumah sakit. Di dalam mimpi itu saya menangis, dan saat saya terbangun pun mendapati mata saya sembab dan basah. Ternyata saya beneran nangis. Ah, mimpi kan bunganya tidur. Saat itu Alfath masih tertidur pulas. Saya pegang keningnya. Suhu badannya normal. Alhamdulillah cuma mimpi. Alfath sehat2 saja. Sehat terus ya sayang, nanti malam Abi datang…

Malamnya sekitar jam 11 malam, suami saya datang. Suami ingin merasakan Ramadhan pertama bersama kami setelah 2 bulan tidak bertemu. Paginya, Alfath terlihat salah tingkah karena ada Abinya. Anak ini kangen, tapi mungkin dia jadi bingung sendiri karena sudah 2 bulan ga ketemu Abinya. Biasanya cerewet dan suka nyanyi teriak2, ini mendadak jadi kalem. Suka mondar mandir di dekat Abinya tapi ga ngomong apa2. Sekitar jam 9 pagi, odong-odong langganan Alfath lewat. Biasanya setiap pagi Alfath selalu naik odong2 ditemani Utinya. Tapi pagi ini entah kenapa, rasanya saya dan suami malaaaas sekali keluar rumah. Alfath pun menangis keras karena keinginannya tidak kesampaian. Tukang odong2nya pun sudah terlanjur pergi jauh. Lumayan lama Alfath menangis. Habis menangis, Alfath terlihat lemaaas sekali, ga aktif seperti biasa. Tidur2an saja di kasur. Ditawari apa2 ga mau. Akhirnya ia pun tertidur pulas. Badannya agak hangat.

Siang harinya, suhu tubuhnya makin tinggi dan ia muntah beberapa kali. Rewelnya minta ampun, mungkin karena tubuhnya terasa tidak nyaman. Karena muntah2 itulah, akhirnya sekitar jam 2 siang saya dan suami mengajaknya berobat ke klinik 24 jam di dekat rumah. Alfath diberi obat demam, anti mual dan obat batuk. Dokter menyarankan jika setelah 2 hari masih demam, coba dicek darah di lab. Dalam dua hari itu demamnya sudah turun, muntahnya jauh berkurang namun sempat beberapa kali mimisan. Di hari ketiga Alfath sudah tidak demam, muntah dan mimisan lagi namun sepertinya belum pulih karena masih lemas sekali dan tidak mau makan.

Saya dan suami sempat berdebat karena saya merasa ada yang tidak beres dengan kondisi Alfath. Saya ingin Alfath dites darahnya. Saya takut Alfath kenapa2. Sementara suami saya tidak setuju, menurutnya Alfath sudah tidak demam lagi dan insyaAllah akan segera sembuh. Suami ga tega melihat Alfath diambil darahnya. Saya sampai menangis. Saya risau, suami besok akan kembali ke Pekanbaru sementara Alfath masih sakit dan kasihan juga sama ibu karena Alfath kalau lagi sakit begini minta digendong terus sama Utinya. Saya takut Alfath kenapa2.

Akhirnya di hari ke-4, Senin pagi, kami membawa Alfath ke lab terdekat. Alfath memang meronta dan menangis keras saat darahnya diambil. Pembuluh darah Alfath kecil dan tersembunyi, jadi mesti beberapa kali tusuk baru bisa dapat darahnya :(. Hasil tes darah hari itu, trombosit Alfath 122.000 (normal minimal 150.000). Saya ragu apakah harus membawa Alfath ke dokter lagi atau tidak. Akhirnya saya bertanya pada teman saya yang seorang dokter. Kata teman saya, kemungkinan Alfath kena Demam Dengue (belum sampai DBD). Bisa dirawat di rumah, yg penting cairannya cukup. Nah ini yang susah. Alfath ga mau makan, minum susu cuma sedikit, minum air putih pun dia ga mau. Kebetulan sorenya suami saya harus pulang ke Pekanbaru. Dengan berat hati saya melepas suami saya pergi.

Di hari ke-5, belum ada perubahan pada Alfath. Alfath makin terlihat lemas. Sore harinya Alfath saya bawa ke klinik 24 jam lagi. Saya sempat dimarahi dokter karena trombosit Alfath di ambang batas, kenapa ga langsung dibawa ke klinik lagi. Saya bilang, saya sudah berkonsultasi pada teman saya yang juga seorang dokter. Nah untuk memastikan kembali, Alfath harus tes darah ulang sore ini juga. Kuatir Alfath DBD, yang kalau penanganannya tidak memadai trombositnya bisa terus turun dan bisa menyebabkan kematian. Hasil tes darah Alfath, trombositnya 90.000 dan positif typus. Typusnya pun tubek 6 (saya kurang mengerti, mungkin ini semacam level typus. Kata dokter tubek 6 ini setara dengan level typus orang dewasa. Anak2 biasanya sudah positif typus pada tubek 4. Berarti typus Alfath tergolong sangat serius). Padahal sehari sebelumnya tidak ada typus di hasil tes darahnya. Tidak ada pilihan lain, Alfath harus dirawat malam ini juga. Saya sedih, menangis dan menyesal. Terasa berat karena suami tidak ada di sebelah saya.

Saya memilih RS Muhammadiyah Taman Puring karena dekat dengan rumah dan biayanya masih terjangkau. Malam itu, pukul 8 saya membawa Alfath ke RS. Tidak tega melihat Alfath menangis kesakitan saat dipasang infus. Dia bilang,”Udah Umi, pulang…” Ah sayang, betapa tidak tega Umi melihatmu seperti ini. Seandainya penyakitmu bisa dipindahkan ke tubuh umi…

Saya menjaga Alfath berdua dengan ibu saya. Biasanya ibu saya baru datang menjelang Isya sampai habis Shubuh. Dari pagi sampai sore saya yang menjaga Alfath sendirian. Sangat berat mengingat ini adalah bulan puasa. Saya pun takut Ibu saya sakit karena kecapean. Alfath sangat dekat dengan Utinya. Kalau ada Utinya, Alfath jadi minta digendong Utinya terus. Alfath sepertinya trauma dengan RS. Dia ga mau tidur di kasur. Dia maunya tidur sambil digendong atau dipangku. Bisa dibayangkan luar biasa capeknya kami. Pegal dan kram demi Alfath bisa tidur dengan nyenyak.

Hari ke-6 pagi, trombosit Alfath turun menjadi 86.000. Alfath makin rewel dan sama sekali ga mau makan. Minum susu hanya sedikit, minum air putih juga susah. Sorenya trombositnya masih tetap segitu. Ga tega melihat Alfath diambil darah 2 kali sehari seperti itu :(. Kedua kakinya pun bengkak. Sedih sekali melihat kondisi Alfath. Di saat seperti ini, saya harus kuat melaluinya tanpa suami.

Hari ke-7 pagi, trombosit Alfath masih rendah juga. Saya cemas. Padahal Alfath sudah diberi cairan infus untuk meningkatkan trombosit, tapi kok ya tetep aja belum naik. Kata perawat, ini wajar karena pada DBD biasanya trombosit akan mulai naik kembali pada hari ke-7. Sore harinya, trombosit Alfath meningkat sedikit menjadi 87.000. Ada sedikit harapan namun tetap saja hati ini tidak tenang. Malam harinya, tangan Alfath bengkak dan tidak bisa menerima cairan infus lagi. Infus terpaksa harus dibuka. Ga tega melihat tangan Alfath yang bengkak dengan pembuluh darah yang membiru :(. Karena tidak diinfus, Alfath diberi obat ekstra sebagai pengganti cairan infus.

Hari ke-8 pagi, Alfath terlihat jauh lebih sehat. Sudah mau makan semangka, puding, minum susu dan air putihnya sudah mulai banyak. Sudah mulai lincah jalan kesana kemari. Hasil tes darahnya pun menggembirakan, sudah 100.000 :). Alhamdulillah. Kata dokter, kalau tes darahnya sudah di atas 150.000, Alfath boleh pulang besok. Alhamdulillah, di saat saya dan ibu saya mulai teler karena kurang tidur, Alfath sudah mulai mau tidur di kasur. Tidurnya pun sudah lebih tenang. Siang harinya, saat saya menjaga Alfath sendirian, syaa merasa tubuh saya sangat lemas, kepala pusing dan berkunang-kunang seperti mau pingsan. Ingin rasanya membatalkan puasa karena sudah tidak kuat lagi, namun saya cuma punya stok air putih, tidak ada makanan. Mau beli roti ke bawah, rasanya sudah tidak kuat bangun dan ga mungkin juga Alfath ditinggal sendirian di kamar. Ga ada yang bisa dimintain tolong. Saya menelpon suami saya sambil menangis. Ya Allah, cobaanmu begitu berat. Di saat saya sudah hampir pingsan, untung saja Alfath tertidur. Saya jadi bisa ikutan tidur di sebelah Alfath. Kepala saya yang berat lumayan terasa ringan.

Hari ke-9 pagi, trombosit Alfath sudah naik jadi 169.000! Alhamdulillah ya Allah dan Alfath boleh pulang hari ini. Si kecil Alfath keluar dari RS malah makin gemuk dan berat lho, cairan infusnya bergizi kali ya.. hehehe. 4 malam menginap di RS, biaya yang dikeluarkan 4juta. Alhamdulillah uang rapel TB Umi kemarin memang rejekinya Alfath πŸ™‚

Pengen masukin foto tapi sinyalnya jelek euy…

Hikmah yang didapat dari ujian di awal Ramadhan ini:

1. Hati2 kalau anak demam, muntah, mimisan dan terlihat lemas lebih dari dua hari. Alfath biasanya kalau demam biasa akan sembuh maksimal dalam 2 hari. Lebih dari itu, kita sebagai orangtua harus waspada. Periksa ke dokter, tes darah. Alfath sudah tergolong terlambat ditangani. Di RW kami, Alfath adalah anak ke-11 yang terkena DBD.

2. Jaga makan anak. Padahal Alfath makannya sudah sangat dijaga. Semuanya serba homemade. Ternyata eh ternyata kita mesti aware sama botol susunya, dotnya. Harus diganti 6 bulan sekali. Anak kecil biasanya suka megang macem2 dan lalu dimasukkan ke mulut. Kemungkinan Alfath kena dari situ. Tangannya tuh gratil banget dan suka susah diajak cuci tangan. Kami mendapat pelajaran berharga dari sini. Iklan sabun lifebuoy tentang cuci tangan ternyata sangat benar adanya πŸ™‚

3. Allah tidak akan memberi cobaan diluar kemampuan hambaNya. Awalnya saya sangat risau dengan biaya RS, mengingat tetangga ada yang anaknya habis dirawat di RS dengan penyakit yang sama dan habisnya sekitar 9 juta. Pusing sekali memikirkan biaya ini, apalagi 3 hari pertama kondisi Alfath belum kunjung membaik. Eh ternyata rejeki Allah mengalir terus. Biaya RS “hanya” 4 juta, dan alhamdulillah begitu Alfath keluar dari RS, saya masih bisa membayar semua kewajiban saya (KPR, asuransi, arisan, bayar ini-itu), dan saldonya masih ada sisa yang lumayan banyak. Dan ALfath yang tadinya cuma mau nempel sama Utinya, sekarang jadi dekat juga dengan saya πŸ™‚

Allah memang Maha Baik ya πŸ™‚

 

Serba Masakan Padang

Entah karena lagi bosen sama menu yg itu2 aja atau karena lagi kangen suami atau karena kangen Pekanbaru, seminggu terakhir daftar menu makan saya dihiasi oleh menu ala RM Padang. Awalnya karena pulang kuliah saya diajakin teman makan di warung padak Mande Kanduang di sebelah pangkalan Damri di jalan Dipati Ukur. Awalnya agak males, soalnya untuk RM Padang sekelas kaki lima gitu harganya tergolong mahal. Dulu pernah coba makan pake lauk gulai ikan eh harganya 15rb, mana ikannya kecil pula… Mending beli di warteg deh dg ikan yang sama paling banter cuma 8-9ribu.

Nah tapi karena males makan sendiri, akhirnya hayok deh kita makan padang. Berhubung saya harus makan telur setiap hari, maka pilihan saya jatuh pada telur dadar. Telur dadar padang tuh mengundang selera banget. Gendut, tebel, rasanya gurih dan mantap. Makan nasi, telur dadar, daun ubi rebus, gulai nangka plus kuah asam pedas dan sambal ijo… hmmm berasa pesta! πŸ™‚

Trus besoknya rasa sedap dari telur dadar ini masih terus membekas di lidah saya. Pengen lagi… Dan saya pun beli lagi untuk dimakan di kosan. Selain telur dadar, saya juga beli ikan bakar dan gulai nangka. Hmmm sedap. Saking nafsunya, saya sampe makan 4 kali sehari!

Telor dadar padang yang belum berhasil saya eksekusi. Gambar dari chefhendrimuchlis.blogspot.com

Telor dadar padang yang belum berhasil saya eksekusi. Gambar dari chefhendrimuchlis.blogspot.com

Setahu saya, ga semua RM Padang menjual telur dadar yang enak. Dulu pun waktu masih di Pekanbaru, cuma nemu 1 RM Padang yang menjual telur dadar sesuai selera kami. Di Bandung juga begitu. Barusan saya beli telur dadar di RM Padang dekat kosan baru, eh rasanya malah kayak perkedel tahu! 😦

Beberapa kali mencoba bikin telor dadar seperti itu, belum berhasil. Pake telor bebek ataupun telur ayam teteup blom ada yang mirip sama telor dadar padang langganan saya itu. Besok kalo lagi di Jakarta mau coba resep yang ini ah. Kebetulan Ibu saya punya wajan yang cekung.

Selain telur dadar padang, saya juga hobi makan lontong padang. Hehehe ini judulnya kangen Pekanbaru.

Rendang Uda Gembul saya udah nyampe! :)

Rendang Uda Gembul saya udah nyampe! πŸ™‚

Suka rendang? Pernah dengar Rendang Uda Gembul? Saya pertama kali tahu rendang ini dari Facebook. Saat itu ada teman saya yang jualan rendang ini. Penasaran, tapi teman saya domisili di Samarinda euy. Jauh. Iseng2 googling, ternyata rendang ini dari Bandung. Ownernya dosen Unpad lho. Walaupun dari Bandung tapi selera Minang. Bagus idenya, bikin rendang dengan level pedas dan dikemas dengan cantik. Udah lama penasaran dan akhirnya berhasil ngebujukin beberapa orang temen buat ikutan beli, biar ngirit ongkir. Hehehe. Ada 3 varian rendang: sapi, ayam dan paru. Berhubung lagi menghindari daging merah, saya pesen rendang ayam. Levelnya ada 0, 1, 3, 5 dan 10. Saya pesan level 3 dan 5. Kemasannya 150 gram, harganya yg ayam 23rb, sapi antara 27500-29000 kalo ga salah ingat.

Tau gak, rencananya itu rendang buat bulan puasa lho… biar praktis tuk sahur di kosan. Eh malah habis duluan karena penasaran. Saya membayangkan rasa rendangnya seperti rendang padang favorit saya di RM Lumbung Mas Pekanbaru. Eh ternyata rasa rendangnya mirip sama rendang Lebaran buatan ibu saya. Rendang ibu saya kalau sudah dihangatkan beberapa kali sampai kering rasanya persis banget sama rendang Uda Gembul. Tapi rendang Ibu saya ga terlalu pedas. Oia rendang level 3 sudah sukses membuat Ibu saya mules-mules. Hehehe. Haduuh apa kabar rendang level 5 saya di kosan tuh?

Yang jelas rendang Uda Gembul tuh enaaaaak pisan. Dimakan pake nasi hangat plus lalapan mentimun, sedap sekali. Dedak rendangnya dicampur ke nasi. Ouh nambah terus! Satu kemasan isinya ga banyak, tapi bisa buat lauk saya selama 4 hari. Hihi dasar ngirit.

Mmmh jadi laper. Besok mau beli telor dadar lagi ah! πŸ™‚

Kabar Gembira dari Seorang Teman

In Vitro Fertilization a.k.a bayi tabung

In Vitro Fertilization a.k.a bayi tabung

 

Tadi suami telpon dan cerita kalau teman seperjuangan kami ada yang berhasil hamil! πŸ™‚

Mereka menikah sudah lebih lama dari kami, kalo ga salah udah 8 tahun menikah. Mereka juga sama-sama punya anak angkat seperti kami. Soal program hamil, kurang lebih proses yang dilalui sama seperti kami lah. Udah coba beberapa dokter dan udah periksa macem2.

Nah, bermula dari ketertarikan suami saya pada bayi tabung murah di Gladiol IVF Magelang, suami saya merekomendasikan ke teman kami ini. Dan rupanya mereka pun tertarik dan serius untuk mencoba. Alhamdulillah sekarang sudah hamil 2 bulan. Proses lengkapnya seperti apa silahkan buka sendiri ya webnya. Saya mah belom pernah coba, jadi kurang ngerti juga.

Next step, insyaAllah insem atau IVF.

Bismillah, tetep semangaaat!

Konsul Ke-5. Alhamdulillah, bagus!

Sebenernya ya udah semingguan yang lalu konsulnya, tapi berhubung lagi riweuh ujian, baru bisa ngeshare sekarang deh.

Waktu itu saya datang di H16, di awal masa subur. Masa subur saya rentangnya cukup panjang dan memang perkiraan awal saya agak meleset. Saya kira puncak masa subur saya di H13-14, eh ternyata kata dr. Wid puncak masa subur saya mendekati H20. Soalnya di H16 sel telur saya masih belum matang. Soal ukuran, alhamdulillah udah bagus.

Pertama saya masuk ke ruangan, dr. Wid langsung bertanya, “Gimana Bu, udah ketemu suaminya belum?” Hihihi dan saya pun cuma bisa nyengir. Suami sayaΒ  ga jadi pulang bulan ini. Yah gapapa lah. Alhamdulillah seiring berjalannya waktu, saya bisa jadi lebih ikhlas melewati masa2 subur saya bersama tumpukan rumus statistik. Haha. Yang penting selesaikan dulu masalah PCO ini. Sip!

Berhubung sudah 4 bulan berturut-turut hasil USG saya membaik, maka saya dikasih libur berobat selama 3 bulan. Tapi minum obat tetep jalan. Juga tetep olahraga, makan telur dan ikan serta menghindari daging merah karena lemaknya yang tinggi.

Trus saya iseng nanya, kalau sekali-kali makan daging boleh ga dok? (padahal udah berkali2 bandel makan daging. hehe). Kata dokternya, boleh. Kalau kepengen banget mah ga usah ditahan, gapapa sekali-kali. Horeee… Nah trus kalau olahraga lagi males, HARUS tetep dijalani paling tidak seminggu sekali.

Ga banyak cerita karena emang ga banyak yang mo diceritain, konsulnya cuma sebentar soalnya.

Biaya dokter 200rb

Biaya obat (Max-E, Ovacare dan Glucophage) 386rb

Total 586 ribu

Hitung-hitung Biaya Hidup Anak Kos di Bandung

Satu tugas sudah selesai, alhamdulillah. Mo lanjut tugas yang lain, udah malam. Saya mah kalo tidur kemaleman paginya pas bangun badan terasa ga enak. Jadi jam malam saya batasi sampai jam 10.

Ngeblog dulu ah bentar. Terinspirasi dari WA seorang teman yang suaminya bakal jadi junior saya (hihi, sedap). Dia menanyakan tentang biaya hidup di Bandung.

Monumen Perjuangan Rakyat. Letaknya pas di depan kosan. Jangan percaya tampilan di foto yah, terlalu fotogenic :D

Monumen Perjuangan Rakyat. Kosan saya dekeeet banget dari sini.

Pertama, mari kita mulai dari tempat tinggal. Saya ngekos di daerah Haur Mekar. Daerah sini lumayan padat, isinya kos2an semua. Konon penduduk asli lebih memilih menjual atau mengubah rumahnya menjadi kos2an karena pendapatan dari kos2an sangat lumayan, dan mereka memilih tinggal di pinggiran Kota Bandung. Daerah ini tergolong sangat padat, rumahnya nempel satu sama lain dan bisa dibilang sumpek. Tapiii aksesnya sangat dekat ke kampus (dekat sini ada Unpad, Unikom, Unisba). Mau kemana2 pun gampang karena berbagai jalur angkot melewati daerah ini. Udah gitu kalau pagi di sepanjang jalan Haur Mekar ini ada pasar. Dan di Minggu pagi dari sekeliling Monju sampai gedung sate ada pasar kaki lima kagetan yang kondang dengan sebutan Pasar Gasibu. Segala macem ada, mulai dari baju, buah, sayur, perabot sampai kasur.

Berapa kisaran harga kos2an di daerah Haur Mekar? Dari 300 ribu sampai sejutaan juga ada. Ada harga ada barang. hehe. Kosan dengan harga murah biasanya kosongan, kamarnya kecil dan kurang bagus. Letaknya pun blusukan masuk ke gang bagian dalam. Oia, biasanya pemilik kosan ga mau repot makanya biaya sewa dipatok per 6 bulan atau per tahun. Kosan yang saya tempati sekarang biaya sewanya 8 juta per tahun, ada kamar mandi di dalam, udah ada kasur, lemari dan meja. Itu belum termasuk uang sampah dan biaya tambahan kalau bawa alat elektronik selain setrika ya. Kalau teman saya, di kosan yang sama, dengan kamar mandi di luar sewanya 6,5 juta per tahun. Yah kalau mau nyaman ya memang kisarannya 6 juta ke atas per tahunnya. Ditambah faktor hoki. Kenapa hoki? Karena bulan depan saya bakal pindah ke kosan baru. Cuma 2,45 juta selama 8 bulan. Tempatnya bagus, walau kosongan dan agak kecil dibanding kamar sekarang. Yang penting murah. hehe. Lumayan susah cari kosan bagus dengan harga terjangkau. Sempat survei ke beberapa kosan, dengan harga yang sama kualitasnya jauuuuh banget beda. Kebanyakan kosan dengan harga segitu jauh dari layak (menurut saya).

Biaya tambahan lain di kosan, yaitu untuk laundry dan internet. Berhubung saya males nyuci, jadi saya minta tolong Bik Titi untuk mencucikan baju saya. Biayanya 100 ribu sebulan. Nah trus internet. Kamar saya letaknya paling bawah dan susahh banget dapat sinyal. Saya pakai internet unlimited yang disambungkan dengan LAN, biayanya 75 ribu per bulan.

Selanjutnya, biaya makan. Di Bandung kata orang, surganya makanan. Kalau buat saya mah biasa aja. Tempat makan yang menurut orang sini enak, menurut saya biasa aja. hehe. Sebagai anak kos yang harus ngirit karena punya 3 dapur, saya termasuk susaaaah banget mau ngirit makan. Bawaannya ga semangat kalau makan ga enak πŸ˜€

Untuk menu sarapan, kalau mau sehat tapi irit, pilihan saya jatuh kepada buah pepaya. 7000 perak bisa untuk sarapan 2 hari. Kalau tahan makan gorengan dan kue2, di pasar ada yang jual dengan harga mulai dari 1000 rupiah. Menu lain yang bisa dipilih yang serba mulai dari 5000 adalah bubur ayam, kupat tahu, nasi kuning. Kalau mau mahalan dikit 6000 ke atas ada soto ayam, lontong kari, lontong padang.

Untuk makan siang dan makan malam, kalau mau irit ya masak nasi sendiri. Sambil ngerebus telur untuk tambahan lauk. hehe. Di warung dekat kosan saya, makan nasi, telur dan sayur sekitar 7000. Kalau pakai ikan mulai dari 8000, ayam mulai dari 9000. Makan siang di seputar kampus Unpad bisa juga dengan menu lebih bervariasi, tapi jatuhnya lebih mahal dibanding makan di warteg. Mulai dari 10 ribuan deh. Kalau siang hari panas terik dan pengen minuman segar, masih banyak yang jual jus dengan harga 5000, tapi dengan pilihan buah tertentu.

Makan malam di sekitar kosan terasa sangat meriah. Banyak warung tenda yang jual macam2 makanan, mulai dari pecel lele sampai spaghetti dan steak ada. Makan dengan pecel lele mulai dari 8000, tapi di antara sekian banyak penjual cuma 1 penjual yang menjual dengan harga segitu, yang lainnya mah di atas 10 ribu. Nasi goreng mulai dari 9000. Tapi pada umumnya kalau makan malam di luar habisnya belasan ribu.

Itu tadi di luar jajan yah, kali aja pada suka jajan beli siomay, batagor atau cilok. Saya mah gak suka jajan, kebanyakan nonton reportase investigasi jadi ngeri sendiri. hehe. Berhubung ga pernah jajan, jadi saya ga tahu harga jajanan ini.

Saya membandingkan awal saya ngekos dan belum punya rice cooker, sehari bisa habis 30ribuan untuk makan. Semenjak masak nasi sendiri, biaya bisa ditekan menjadi kurang dari 20 ribu. Tapi yah, berhubung akhir2 ini nafsu makan saya lagi kurang, jadilah anggaran makan saya membengkak lagi πŸ˜€

Biaya lain yang berhubungan dengan hidu adalah beli printilan macam sabun, odol, dll. Kalau saya sih habisnya ga banyak, belanja 50 ribu pun bisa hampir 2 bulan baru habis.

Gimana dengan belanja baju? Wahaha, walaupun katanya Bandung surga belanja dan kosan saya terbilang dekat dengan Pasar Baru, tapi saya mah ga napsu untuk belanja-belanja. Inget punya 3 dapur. hehe

Kalau dihitung2, biaya yang saya keluarkan di luar bayar kosan dan biaya kuliah mencapai hampir 2 juta per bulan. Trus saya jadi mikir deh, saya aja yang udah kerja dan kuliahnya gratis kadang ngerasa sayaaang banget ngeluarin uang. Gimana para orangtua yah? Ngebiayain kuliah, kosan dan biaya hidup anaknya. Kalau dibagi rata sebulan harus ngerogoh kantong minimal 5 jutaan tuh. Woow… nanti kalau Alfath biayanya berapa ya?? Makanya saya suka kasihan sama anak yang main2 pas kuliah, terlibat pergaulan ga bener, ya ampuuun kasihan banget orangtuanya…

Sekian, semoga bisa membantu. Selamat tidur… Zzzzz

Bidan, Bukan Dokter

Udah lumayan lama saya pengen nulis tentang ini. Awalnya agak takut menyinggung profesi tertentu, tapi ah saya cuma pengen sharing pengalaman aja. Soalnya ada beberapa postingan tentang ini di blog lain dan langsung diserbu dengan komen pedas. hihi.

Sebagai newbie mom, dari dulu di Pekanbaru Alfath punya langganan dsa yang oke. Oke disini karena ramah dan sangat teliti kalau memeriksa. Pasiennya pun buanyak. Nah semenjak ke Jakarta, pernah Alfath saya bawa ke dsa di RSIA di daerah Taman Puring yang deket rumah, tapi saya kurang puas. Jawaban dokter kurang meyakinkan. Katanya Alfath kemungkinan alergi telur dan ikan. Hellooo dari MPASI kan Alfath udah dikenalin telur dan ikan. Baik2 aja tuh ga ada gejala alergi. Nah kenapa baru sekarang alerginya??? Dan jawabannya pun makin ga memuaskan. Ah ya sejauh ini belum nemu dsa yang sreg deh. Malah Alfath cocok sama klinik 24 jam yang mana dokternya dokter umum yang masih muda. Dokter muda justru kadang lebih ramah dari dokter senior. Dan Ibu saya puas berkonsultasi dengan para dokter muda ini.

Nah, pas saya ke Jakarta hampir dua bulan yang lalu, ibu saya laporan kalau di lipatan tangan dan ketiak Alfath ada bentol berisi cairan. Kalau malam suka digaruk, mungkin karena gatal. Nah trus saya coba lihat kan, dan saya kaget karena di lipatan tangan Alfath ada bekas luka seperti koreng gitu dengan diameter hampir 1,5cm. Kata Ibu sih Alfath ga demam, makannya juga doyan, aktif seperti biasa. Nah rencananya sore mau saya bawa ke klinik 24 jam itu. Tapi berhubung hujan dan saya takut Alfath kenapa-kenapa, saya ikuti saran ibu untuk membawa Alfath ke rumah Bidan dekat rumah. Tetangga saya banyak yang berobat kesana, dari masih bayi sampai lansia pada berobat kesana.

Sampai sana, ada dua pasien yang menunggu. Nah pas tinggal satu pasien, datanglah seorang ibu. Herannya, pas pasien terakhir sudah pulang dan giliran Alfath, malah ibu tadi yang disuruh masuk duluan. Ehh ternyata ibu itu penjahit dan bu bidannya lebih memilih untuk nyobain baju daripada mendahulukan pasiennya. Okey deh kakak… Mulai mangkel saya.

Ibu penjahit pun pulang dan giliran Alfath masuk. Diperiksa, katanya Alfath kena cacar monyet. Trus katanya Alfath mau dikasih antibiotik (saya makin ga sreg nih, apa boleh bidan ngasih antibiotik?). Bidan itu bertanya pada saya, Alfath biasanya dikasih antibiotik apa. Saya ga inget merknya, dan ibu saya pun berinisiatif pulang ke rumah mau melihat kalau2 antibiotik Alfath masih ada di rumah untuk melihat merknya. Bu Bid itu agak jutek, katanya kalau anak yang udah biasa berobat sama dia, dia udah ngerti riwayat obat dan antibiotiknya (dalam hati: waah hebat ya bisa ingat, padahal ga ada catatan pasien sama sekali). Sambil menunggu ibu saya datang, saya ditanya2, pakai KB apa, trus kuliah apa. Katanya anaknya di Unpad jurusan farmasi, di Dipati Ukur juga. Saya bilang, setahu saya S1 di Dipati Ukur cuma ada jurusan hukum aja. Selebihnya D3 akuntansi dan S2, tapi bukan farmasi. Eh si ibu ini ngotot, padahal saya bilang, setahu saya kalau yang di gedung saya nggak ada jurusan farmasi. Eh malah saya yang diinterogasi. Akhirnya ibu saya pun datang, katanya obat Alfath sudah habis dan botolnya sudah dibuang. Yah syukur alhamdulillah, jadinya bu bid ga berani ngasi antibiotik untuk Alfath. Katanya sih cacar monyet menular, tapi lama2 bisa hilang sendiri. Eh trus bu bid memberikan obat puyer dan salep buat Alfath. Saya bertanya, apa cacarnya bisa menyebar, karena saya takut juga kalau menyebar sampai ke muka Alfath. Eh jawabannya; yah tergantung doa ibunya. Kalau doa ibunya kenceng, ga bakal nyebar, kalau doanya kurang kenceng ya bakal nambah dan menyebar itu cacar. Dan saya pun bengong mendengar jawaban sensasional itu.

Sebelum ke bidan, saya sempat mengeluhkan kelingking kiri saya yang kesemutan semenjak senam aerobik seminggu lalu. Nah sebelum pulang, ibu saya mengingatkan, jadi gak mau periksa juga. Ya sudah deh, saya tanya ke bu bid, kok kelingking saya kesemutan terus ya semenjak senam aerobik, penyebabnya apa? Trus bu bid langsung to the point aja gitu; ini mau nanya aja atau berobat sekalian? Kesel digituin, saya bilang, ya udah berobat aja sekalian. Katanya lagi, masa kalah sama nenek-nenek. Nenek-nenek aja senam ga sampe kesemutan. Males banget kan, komennya ga penting dan ga memberi solusi. Ya udah, diukurlah tekanan darah saya. Rendah tapi normal. Normalnya tekanan darah saya ya segini ini. Trus saya dikasih obat 3 macam, katanya untuk vitamin dan menormalkan tekanan darah. Nah saya bertanya dong, jadi penyebab kesemutan saya karena tekanan darah yang rendah? Eh katanya, kalau mau tahu pasti penyebabnya ya harus cek darah ke lab. Lah trus ngapain saya diperiksa dan dikasi obat sebanyak ini? Ih ga cerdas banget ya. Biaya per pasien 30 ribu, jadi total 60ribu. Hhh… 60 ribu yang percuma. Mending ke dokter sekalian, walaupun keluar ratusan ribu tapi hati puas dan yakin.

Sampe rumah, saya bener2 mangkel dan obatnya langsung saya buang. Obat Alfath juga saya buang. Saya googling dan menemukan banyak info tentang cacar monyet. Ga mesti dikasih obat juga bisa hilang sendiri. Dan bener, beberapa hari kemudian memang hilang dengan sendirinya.

Saya iseng curhat dengan teman saya yang seorang dokter. Katanya, alhamdulillah, makin banyak orang yang menyadari kalau berobat ya ke dokter, bukan ke bidan. Mungkin kalo di daerah terpencil dimana dokter susah ditemukan, oke2 aja ke bidan untuk pertolongan pertama.

Maaf ya, bukan mau memojokkan profesi tertentu. Saya cuma pengen share aja. Saya yakin ga semua bidan ngeselin seperti bidan yang saya kunjungi itu.

Ya sudah, mau kuliah dulu πŸ™‚

Pilih-pilih Travel ke Bandung

Hampir setahun tinggal di Bandung, saya jadi pengen cerita tentang pengalaman saya memilih travel Jakarta-Bandung dan sebaliknya. Berhubung Alfath di Jakarta, maka seminggu atau dua minggu sekali saya pasti pulang ke Jakarta.

Dari pengalaman itu, baru 3 macam travel yang saya coba: Cipaganti, DayTrans dan Baraya. Review dibatasi pada daerah tempat tinggal saya: Radio Dalam dan Dipati Ukur

Pertama kali saya berangkat ke Bandung, berhubung sama sekali belom pernah ke Bandung, saya cuma tahu Cipaganti. Dan Cipaganti terdekat dari rumah adalah di daerah Pondok Indah. Kirain deket PIM, ealah ternyata jauuuh… Saya pun dulu ga ngerti kalau travel Jakarta-Bandung mainnya pool ke pool, jadi ga anter alamat seperti di Pekanbaru. Nah pengalaman pertama itu, untung saya berdua sama suami, jadi ya nyasar2 dikit ada temennya. hehe. Mana bawaannya buanyak lagi, maklumlah, pindahan. Dari Pondok Indah, ternyata di Bandung poolnya di Pasteur, yang mana itu masih jauh dari kosan saya di Dipati Ukur. Ya akhirnya naik taksi deh menuju kosan. Ongkos travelnya 90ribu per orang, ditambah taksi hampir 50ribu. Wew.

Hari-hari pertama di Bandung, saya pun mencari tahu travel mana yang poolnya di sekitar Dipati Ukur dan pool di Jakartanya ga jauh dari Radio Dalam. Sepanjang Dipati Ukur ada banyak travel: Baraya, Cipaganti, Cititrans, Daytrans, Umbara. Coba didatangi satu2 dan ternyata cuma Daytrans yang poolnya lumayan deket dari rumah, yaitu di Senayan City. Beberapa bulan pertama pilihan saya jatuh ke travel satu ini.

Pool DayTrans Sency. Gambar dari daytrans.blogspot.com

Pool DayTrans Sency. Gambar dari daytrans.blogspot.com

Naik DayTrans tuh nyaman, lapang, dingin, dan berasa eksklusif banget deh… Maksimal 8 penumpang dan yg paling saya suka, tiap kursi ada seat beltnya. Penumpangnya pun kelihatan kalangan menengah ke atas semua. Harganya? Yaah, ada barang, ada harga. 100ribu. Kadang dapet air mineral, kadang enggak. Tergantung persediaan. Ini nih yang suka bikin kesel. Udah ga bawa minum dari rumah, eh ternyata stok air mineralnya habis pula. Dan makin lama, dipikir2, sebulan habis 800ribu buat travel bolak-balik tiap minggu. Lumayan buanget ituh.

Kebetulan temen sekos saya merekomendasikan travel yang lebih murah dan katanya ada pool di Melawai. Uhuy… Melawai lebih dekat ke rumah dibanding Senayan. Nama travel itu adalah Baraya. Naiknya dari Surapati, naik angkot sekali dari kosan. Tiketnya 70ribu. Lumayan murah dibanding Daytrans, tapi yaaah… ga senyaman Daytrans. Kadang AC ga dingin, trus kalau hujan kasihan yang duduk dekat pintu karena airnya suka netes, kalau lagi full penumpang ga berasa sempit sih, tapi kaki pegelll karena jarak dengan kursi di depannya mepet. Kadang kalau lagi kebagian duduk di depan, saya suka senewen sepanjang jalan karena seat beltnya rusak.

Kabar baiknya, mulai akhir 2013 kemarin, ada harga khusus mahasiswa! Dengan melampirkan fotokopi KTM, tiketnya jadi 50ribu aja gitu… Murah banget kan? Sangat bisa menghemat anggaran PP Jakarta-Bandung :D. Dengan mengenyampingkan minusnya, dengan harga segini pelayanannya udah lumayan banget. hehe

Sekian review saya, mohon maaf kalau tidak banyak membantu :p